Sabtu, 04 September 2010

Membangun Anak Dengan Karakter Islam


BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Berlakang
Perkembangan ilmu dan teknologi yang pesat harus di antisipasi dengan cepat, untuk itu diperlukan cara untuk mengantisipasinya. Antara lain dengan meningkatkan mutu pendidikan membangun karakter kreativitas anak. Dengan bekal ilmu, kreativitas tinggi dan stabil yang bias survive dalam kerasnya persaingan ini. Dalam hal ini tentunya, pendidikan dan ahlak menjadi faktor utama dalam membekali mereka untuk menjadi anak yang kreatif dan stabil, pendidikan disini mencakup pendidikan formal maupun informal.
Pendidikan karakter keagamaan di sekolah dan perguruan tinggi sangat dibutuhkan dalam membangun karakter bangsa, sekaligus mengurangi demontrasi yang bersifat destruktif. “mengenai hal itu dibahas pada pertemuan tokoh-tokoh agama di Yogyakarta, bagaimana upaya membangun karakter bangsa melalui pendidikan karakter keagamaan.” Kata pakar sosiologi agama dari Universitas Hasanudin Prof. Dr. Basir Syam di Makassar. Jumat (9/4)
Pentingnya memberikan pelajaran intensif di bidang keagamaan di sekolah atau perguruan tinggi, karena akan mempengaruhi mental dan karakter anak didik yang diharapkan menjadi generasi penerus bangsa. Seperti dilansir antara bahwa Menteri Agama Surya Dharma Ali mengatakan, pihaknya mendapat tugas dari Presiden Susilo Bambang Yudoyono mengumpulkan para tokoh agama dan masyarakat untuk membahas masalah pembangunan karakter bangsa.
Sementara itu, Basir mengatakan selama ini pelajaran agama di sekolah atau perguruan tinggi negeri diakui masih kurang, karena hanya tiga sks per semester. Berkaitan dengan hal tersebut diharapkan ke depan pemberian pendidikan karakter keagamaan bisa lebih intensif, baik melalui pendidikan formal maupun informal.

B.Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, penulis berupaya untuk meningkatkan pendidikan agama di sekolah-sekolah terutama di taman kanak-kanak yang bertujuan untuk membangun karakter anak dengan pemahaman ajaran islam.
Untuk mendeskripsikan pokok-pokok masalah dalam makalah ini, penulis mengemukakan pertanyaan sebagai berikut.
1.Bagaimana cara pendidik membangun karakter anak dengan ajaran Islam?

C.Tujuan Penulisan
Sesuai dengan rumusan masalah diatas, secara umum penulisan makalah ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mendeskrifsikan hal-hal yang berkaitan dengan cara penerapan pembelajaran agama di sekolah-sekolah terutama di Taman Kanak-kanak.
Secara khusus penulisan makalah ini bertujuan untuk :
1.Meningkatkan pemahaman pendidik dalam memberikan ajaran islam kepada peserta didik terutama dalam membangun karakter anak.

D.Teknik dan Metode Penulisan
Berbagai informasi hasil pengamatan dan pembuktian sangat diperlukan untuk menjawab atau memberikan alternatif jawaban dari pokok permasalahan yang disajikan dalam makalah ini. Penyusunan makalah ini penulis tempuh dengan metode:
1.Book Survey, yaitu suatu cara pengkajian permasalahan yang dihubungkan dengan buku-buku sumber menurut teori-teori serta pendapat para ahli yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
2.Mengamati keadaan di sekitar lingkungan pendidikan.
3.Internet.

E.Sistematika Penulisan
Berikut merupakan sistematika penulisan mengenai Membangun Karakter Anak dengan Pengajaran Agama Islam

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I.PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
B.Rumusan Masalah
C.Tujuan Penulisan
D.Teknik dan Metode Penulisan
E.Sistematika Penulisan

BAB II. PEMBAHASAN
A.Membangun karakter anak dengan islam
B.Pembentukan karakter : Anak-anak dan kekerasan
C.Mari mengenal anak kita
D.Karakter ibu idola sekaligus sahabat yang menyenangkan bagi anak
E.Mengakomodir perbedaan anak

BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN
A.Kesimpulan
B.Saran
Daftar Pustaka


BAB II
PEMBAHASAN


A.Membangun Karakter Anak dengan Islam

“Ayo, kalau kamu kencing di celana lagi, ibu panggilin dokter lho. Biar nanti disuntik..”.Kata – kata itulah yang sering terdengar di telinga kita ketika hendak membuat anak jera dan takut. Tanpa disadari, perilaku orang tua tersebut justru membuat anka menjadi trauma.
Trauma pada anak banyak disebabkan karena perilaku orang tua dalam mendidik anak. Sehingga, orang tua perlu menjalin hubungan yang positif dengan anak, dimana pendekatan kepada anak harus dilakukan secara baik.
Al-Qur’anul KArim mengajarkan kepada kedua orang tua cara berbicara dengan anak – anaknya melalui contoh yang terkandung dalam surah Al luqman ayat 13 “ Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya. ‘wahai anakku janganlah kamu menyekutukan Allah, sesungguhnya menyekutukan Allah adalah benar – benar kelaliman yang besar”.
Teks Al Quran ini mengarahkan secara halus kepada kedua orang tua cara berbicara kepada anak – anaknya dan pentingnya kata yang lembut disertai rasa cinta kasih ketika kedua orang tua berbicara dengan anak – anaknya juga menyarankan argumentasi yang logis.
Menyuruh atau melakukan suatu tingkah laku perlu diberikan dengan ramah. Larangan dan hal –hal yang tidak boleh, disampaikan dengan alas an yang rasional dan logis serta dapat diterima dan dimengerti anak.
Menasehati anak merupakan cara yang efektif untuk mengubah tingkah laku anak. Namun, sejauh manakah upaya menasehati ini dapat mengubah tingkah laku anak? Efektifitas nasehat tergantung dari rasa tanggung jawab orang tua terhadap anaknya.
Rasulullaah SAW telah menekankan bahwa contoh tanggung jawab orang tua mengasuh anaknya adalah membimbing anak melalui nasehat, apabila tanpa nasehat kepada anaknya maka orang tua ditolak masuk surga. Sebagaimana sabda beliau “Barangsiapa diserahi tanggung jawab dalam pemeliharaan (keluarga, kerabat atau kaum muslimin keseluruhan) tetapi lalai membimbingnya dengan nasehat, maka ia akan dihalangi untuk masuk surga “(HR.Baihaqi).
Efektifitas nasehat tergantung pula kepada kejujuran orang tua dan tauladan yang baik dari orang tuanya. Setiap nasehat orang tua semestinya dipenuhi oleh oang tuanya dan ditepati nasehatnya. Janganlah orang tua menasehati atau menyuruh tapi kemudian tidak dilakukan atau dipenuhi.
Dari Abu Hurairoh ra, dari Rasulullah SAW, sesungguhnya beliau bersabda:
“Barangsiapa berkata kepada seorang anak kecil: ‘kemarilah dan ambillah’, tetapi kemudian ternyata tak diberikannya apa – apa, maka dia telah melakukan satu kedustaan”.(HR. Ahmad).
Ketikapun akan memberikan hukuman, maka hal itu untuk melampiaskan kemarahan. Sebagaimana acapkali dilakukan kebanyakan dari kita. Namun, bertujuan untuk mendidik dan mengajari anak atau meredam perilaku buruk anak. Ali bi Abi Thalib menyatakan, “Sesungguhnya orang berakal itu dengan adab dan binatang itu tiada yang dipikir kecuali memukul”.
Orang tua hendaknya menghondari sikap keras yang belebihan dalam memberi hukuman. Seandainya seorang anak melakukan kesalahan dalam satu hari lebih dari satu kali, hal itu wajar bagi anak kecil.
Oleh karena itu, orang tua harus memberi hukuman satu kesalahan saja dari sekian kesalahan. Kesalahan – kesalahan lain hendaknya ditinggalkan, sehingga ada kesempatan tepat untuk mengingatkannya atau membei pelajaran terhadapnya. Dengan cara itu, diharapkan kesalahan dan kekurangan yang terdapat pada anak semakin berkurang dan penyembuhannya tentunya pelu waktu yang cukup lama.
Orang tua dapat saja menghukum dengan peringatan fisik, seperti memukul jika anaknya berbuat dosa besar atau meninggalkan kewajiban agama (sholat, puasa, dan lain – lain).
Rasulullah SAW bersabda, “Ajarilah anak – anakmu sholat ketika berusia 7 tahun, dan bila mencapai usia 10 tahun, mereka melalaikan sholat, pukullah mereka dan pisahkan tempat tidur mereka satu dengan yang lain”.(HR Ahmad, Abu Daud).
Agar anak – anak tidak menjadi penakut, orang tua perlu menggambarkan beberapa kisah para sahabat nabi. Banyak kisah – kisah tentang keberanian para sahabat nabi yang bias diceritakan pada anak. Seperti kisah Ali bin Abi Thalib ra. Pada malam ketika Nabi hendak memulai hijrah ke Madinah. Beliau rela menuruti perintah Nabi untuk menempati tempat tidurnya dan memakai selimut hijau beliau. Perintah ini diterima tanpa ada rasa takut dan keragu – raguan sedikitpun. Padahal ketika itu persis bahwa orang – orang Quraisy sedang mengintai dan berjaga – jaga untuk membunuh dan mebinasakan nabi.
Juga kisah Abdullah bin Abu Bakar. Beliau diberi tugas dan peran mencari berita tentang rencana orang – orang Quraisy yang ingin mencelakakan Nabi. Padahal ketika itu beliau belu baligh.
Ataupun Umair bin Abi Waqash yang menginginkan ikut perang Badar. Tatkala Rasulullah menolaknya karena masih kecil, Umair pun menangis. Melihat kenyataan itu Rasulullah SAW kemudian memberi izin. Akhirnya Umair terbunuh dalam peperangan tersebut.
Takut hanya dibolehkan kepada Allah saja. Kedua orang tua harus menekankan kepada anak – anaknya untuk takut kepada kehidupan akherat dan neraka Jahanam. Dari kehidupan Rasulullah kita bias mengetahui bagaimana cara beliau memberi nasehat kepada seorang pemuda tentang adanya hari akhir dan rasa takut kepada neraka. Rasulullah mengajak pemuda tesebut ke dalam masjid. Kemudian selesai sholat Rasul menasehatinya dengan membacakan surat At Takatsur. Subhanallah kita patut menirunya.

B.Pembentukan Karakter: Anak-anak dan Kekerasan
Rentang masa perkembangan anak semestinya dipenuhi kegembiraan sehingga berpengaruh positif bagi jiwanya. Akan tetapi, kecemasan dan ketakutan anak sekarang hadir di mana-mana: di sekolah, di jalanan, bahkan di rumah yang dihuni orangtuanya sekalipun. Kak Seto, dalam suatu kesempatan, pernah mengklaim bahwa kekerasan terhadap anak yang dilakukan orangtua mencapai angka 80 persen.
Saya pikir, ketika anak akrab dengan kekerasan, ancaman kehilangan jati diri, kepercayaan, dan kemandirian dalam dirinya akan menghilang. Maka, menciptakan lingkungan yang menenteramkan anak adalah keniscayaan yang tak bisa ditawar-tawar. Sebab, tanpa situasi tenteram dan tenang, anak akan merasa tertekan sehingga berakibat pada terganggunya perkembangan jiwa.
Jangan heran jika pribadi anak pada masa mendatang akan memantulkan laku yang keras dan otoriter. Ia akan berubah menjadi warga keras, tidak toleran, pendendam, dan antisosial. Bahkan, timbul fanatisme berlebihan terhadap keyakinannya sehingga ia menyelesaikan konflik dengan cara-cara yang mengarah pada kekerasan.
Kekerasan terhadap anak secara fisik atau psikis adalah perilaku masyarakat jahiliyah dan tidak berbudaya. Melakukan kekerasan sangat berbahaya bagi perkembangan jiwa anak sehingga harus kita redam. Mencaci, berkata-kata kotor, tidak sopan, dan menjewer anak akan membentuknya menjadi seorang anak yang tidak disiplin. Paling berbahaya lagi, kekerasan fisik dan psikis terhadap anak akan melahirkan generasi yang menyelesaikan sengketa dengan kekerasan juga.
Pelanjut bangsa dari sisi sumber daya manusia, anak adalah generasi penerus berlanjutnya suatu bangsa dan kelompok strategis yang harus diperhatikan agar mereka dapat tumbuh dan berkembang mencapai kedewasaan sampai berumur 18 tahun. Saat
ini, dengan jumlah penduduk berusia kurang dari 18 tahun sekitar 68 juta jiwa atau 30 persen, diperlukan perhatian yang tidak sekadar tertuang dalam bentuk peringatan rutin tahunan, misalnya Hari Anak saja.
Perhatian harus berlanjut sepanjang hayat dalam memperlakukan anak dengan cara yang baik dan beradab tanpa kekerasan. Menurut mantan Deputi Perlindungan Anak Kementerian Peranan Wanita Rachmat Sentika (2007), kunci utama untuk menjadikan anak sebagai potensi negara dalam rangka keberlangsungan hidup dan kejayaan bangsa
adalah komitmen pemerintah untuk menjadikannya prioritas utama pembangunan.
Menurut dia, upaya merealisasikan harapan bangsa untuk mencetak generasi penerus bangsa di Indonesia adalah menciptakan lingkungan yang mengutamakan perlindungan bagi anak, menghidupkan nilai dan tradisi yang memajukan harkat dan martabat anak, serta mengeksplorasi dan memobilisasi sumber daya untuk mendukung penyelenggaraan perlindungan anak.
Oleh karena itu, Indonesia sangat membutuhkan kehadiran pemimpin yang peduli terhadap anak. Sebab, pemimpin bangsa yang arif dan bijaksana berasal dari seorang anak yang sehat jiwa dan fisik. Ketika kita banyak memperlakukan anak-anak secara keras, berarti kita gagal membentuk generasi penerus bangsa. Pada posisi ini, anak adalah mustika atau mutiara berharga yang sering kita cari untuk dijadikan tumpuan berharap atas membaiknya Indonesia ke depan.
Pendidikan kasih sayang Bu Muslimah, tokoh dalam novel Laskar Pelangi, yang sejak tanggal 25 September 2008 difilmkan, adalah potret seorang
guru yang mendidik muridnya dengan kasih sayang. Akrab, tidak canggung, dan merasa seperti anak sendiri ketika mengajar muridnya seharusnya menginspirasi guru, orangtua, dan pejabat negara untuk memberikan perlindungan bagi anak-anak. Jadi, upaya menciptakan kondisi jiwa anak yang sehat sehingga kelak mereka bisa berkontribusi untuk negara adalah menggagas pendidikan kasih sayang.
Hal itu merupakan salah satu bentuk pendidikan yang tidak hanya mengurus kemampuan intelektual siswa dan anak kita. Secara pribadi, saya sangat terharu dengan metode pendidikan kasih sayang yang diberikan Bu Muslimah kepada Harun,
seorang murid yang mentalnya terbelakang. Beliau memberikan rapor khusus kepada Harun meskipun menurut standar pendidikan nasional ia tidak dapat dikategorikan sebagai murid yang pantas naik kelas. Maka, bagi guru dan orangtua di rumah, ketika anak-anak kita tidak mampu mencapai prestasi seperti yang kita inginkan, jangan lantas bertindak keras.
Teruslah memberikan motivasi dan bimbingan tanpa mengebiri kegembiraan anak-anak sebagai upaya mempraktikkan pendidikan kasih sayang di lingkungan sendiri. Kita tidak boleh seperti guru otoriter dan keras yang selalu menghukum
muridnya ketika mereka tidak bisa menyelesaikan soal secara benar dan tepat. Kita tidak boleh juga seperti ayah dan ibu yang selalu overprotective karena ingin anaknya berprestasi tanpa mengindahkan kondisi mentalnya.
Untuk kepentingan anak seharusnya kita memberikan pendidikan yang bisa diterima anak tanpa merasa terpaksa. Ingat, proses pendidikan adalah wahana untuk memberikan pengetahuan kepada anak-anak, yang awalnya tidak tahu menjadi
tahu. Ketika kita ingin semua murid atau anak kita pintar secara akademik, tanpa melihat potensi yang lain, itu sama saja dengan mendidiknya secara keras. Itulah kiranya yang tak pantas kita lakukan ketika mengelola anak-anak, titipan Tuhan,
untuk kemajuan bangsa pada masa mendatang.
Oleh karena itu, mari kita perangi kekerasan anak dengan menggagas pendidikan kasih sayang bagi mereka. Mudah-mudahan dengan pendidikan kasih sayang mereka mampu menjadi generasi pelanjut bangsa yang selalu menyebarkan kebajikan bagi orang-orang di sekitarnya. Amin.
C.Mari Mengenal Anak Kita
Sembilan bulan ibu mengandung, sekian bulan lagi merawat sambil menyusui, ditambah sekian tahun membesarkan anak. Apakah kita sudah mengenal anak kita? Mungkin sudah, mungkin juga belum, atau mungkin baru sebagian? Wallahua’lam.
Sebagai orangtua, ibu dan ayah memiliki tuntutan untuk memahami anak-anaknya. Apalagi dengan semakin kompleksnya kehidupan modern, semakin banyaknya variasi dan pilihan kehidupan, maka semakin besarlah tuntutan untuk hal ini. Mau sekolah di mana? Sekolah kejuruan-kah? Atau sekolah umum? Atau kursus? Atau homeschooling?
Jika kita sebagai orangtua kurang mengenal sifat dan kondisi anak, maka sangat mungkin salah pilih. Sejak hal kecil, seperti salah memilihkan baju sehingga baju bagus yang kita beli ternyata menjadi mubazir karena anak enggan memakainya. Sampai-sampai anak enggan masuk sekolah karena sekolah yang kita pilihkan ternyata tidak cocok baginya.
Kesulitan lain juga akan dihadapi orangtua saat menasehati dan memberi arahan. Manakala kurang mengenal anaknya, orangtua kurang mampu memberi nasehat yang tepat pada anaknya sehingga anak kemudian cenderung mengabaikan.
Bagaimana seharusnya kita menegnal anak kita?
Ada dua bidang bahasan dalam pengenalan anak:
1. Pertama,mengenal anak sesuai konsep yang ada, yaitu menurut agama, dan menurut ilmu tentang anak. Dengan catatan, sebagai muslim, jika konsepsi ilmu tentang anak bertentangan dengan konsepsi yang ada dalam Islam, maka kita perlu mendahulukan konsepsi agama.
2. Bahasan keduaadalah mengenal anak sesuai keunikan diri masing-masing, dengan dasar pemahaman bahwa ”tidak ada dua manusia yang sama persis serupa” (individual difference/ unique being). Dalam bahasan ini lebih kepada bagaimana kita sebagai orangtua mengenal anak melalui pengamatan.

Bahasan Pertama, mengenal anak menurut Islam dan ilmu tentang anak.
Islam mengatakan bahwa setiap anak dilahirkan fitrah, suci, bersih, tanpa dosa. Orangtunya-lah yang telah menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi. Artinya anak tak mungkin divonis bersalah sejak lahir. Bahkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhary tersebut, telah menyebutkan pihak mana yang telah mengambil andil merubah anak yang fitrah, yaitu orangtua.
Dari konsepsi ini, kita perlu membedakan antara bakat bawaan dan penyimpangan. Bakat bawaan tak mungkin buruk. Buruk di sini maksudnya, bakat bawaan tak mungkin langsung menentukan anak masuk neraka. Allah SWT Maha Adil tak mungkin memberikan seseorang bakat yang langsung menuju neraka.
Tak ada bakat mencuri, berzina atau bakat musyrik. Mencuri terjadi karena contoh atau karena kekurangan, karena iri atau karena ketidak tahuan dan lain sebagainya. Lain halnya dengan bakat "keras". Maksudnya sifat bawaan yang cenderung pantang menyerah, teguh pendirian, yang secara bakat ini bakat yang baik namun boleh jadi akan muncul dalam perilaku ngotot, mau menang sendiri dan susah dinasehati atau diyakinkan orang.
Bakat bawaan ini perlu diasah dan diarahkan sehingga tidak berkembang menjadi negatif misalnya menjadi pemarah dan sombong.
Di sinilah peran ilmu tentang anak, baik itu Psikologi Anak, maupun Pendidikan Anak. Dalam ilmu-ilmu tersebut dibahas tentang berbagai sifat dan karakter yang bahkan dapat diukur dengan berbagai test. Juga tentang nilai kecerdasan.
Mengenai nilai kecerdasan, kita perlu juga mengetahui bahwa Islam menghargai nilai usaha. Pahala seseorang dilihat dari niatnya, bukan hasilnya. Oleh karena itu, jika-pun kecerdasan terbatas namun amalnya banyak (anak rajin), tetap harus dihargai tinggi. Dalam dunia materialisme saat ini, nilai tertinggi diberikan kepada nilai hasil prestasi yang semua diukur dengan materi atau kuantitatif. Ini berbeda dengan konsepsi Islam. Sebagai orangtua, kita harus pandai memotivasi anak berbakat, namun harus juga pandai mengapresiasi anak yang berusaha.
Dalam Ilmu Psikologi dikenal istilah ”under-achiever”, yaitu anak yang mendapatkan prestasi di bawah dari kemampuan yang dimilikinya. Dengan mengenal batas kemampuan anak membuat kita mampu menilai apakah mereka sudah berusaha dengan baik atau masih terkatagori under-achiever.
Selain mencoba mengetahui sifat dan karakter bawaan anak, kita juga perlu memahami apa yang disebut oleh para pakar sebagai ”tahapan-tahapan perkembangan”.Anak lahir sebagai bayi, kemudian semakin lama semakin besar, ini adalah perjalanan kehidupan sesuai prosesnya. Masalah proses adalah masalah fitrah. Setiap orang berkembang dengan proses. Dalam Al-Qur’an juga ada disebutkan tentang proses penciptaan dalam kandungan, dan kemudian di luar kandungan sampai tua dan mati.
Dalam bahasan tentang Lima Poin Pendidikan Anakada disebutkan tetang tiga tahapan usia anak manusia dalam kacamata pendidikan, yaitu periode bermain, periode disiplindan periode menjadi mitra atau sahabat. Dari hadits kita ketahui bahwa seorang anak baru disuruh untuk belajar sholat pada usia tujuh tahun. Meskipun anak kecil sudah gemar bermain pura-pura sholat, tetaplah itu bukan pelajaran sholat yang sesungguhnya. Mengapa baru disuruh belajar sholat pada usia tujuh tahun? Ternyata jawabannya dapat kita temukan panjang lebar di buku-buku perkembangan anak.
Dikatakan bahwa nalar anak berkembang dengan cara dan jadwal tertentu sehingga jikapun seorang anak sudah disuruh sholat di usia 4 tahun, tetap anak tersebut baru mengerti di usia tujuh. Maka cukup beralasan bahwa di Taman Kanak-Kanak pengajaran dilakukan dengan full bermain, sementara anak SD kelas satu barulah diharapkan untuk lebih disiplin. Kritikan bagi para orangtua yang mengharuskan anak mengikuti berbagai les tambahan sebelum usia tujuh tahun, sebaiknya tidak merampas masa bermain anak dengan kewajiban les yang mengikat.
Dewasa ini sudah banyak buku populer untuk awam yang ditulis oleh para pakar ilmu tentang anak, namun sebelum mendalami dan menerapkan buku-buku tersebut hendaknya kita sedikit megenal latar belakang penulis dan juga sudah mempersiapkan diri dengan dasar-dasar pemahaman Islam tentang anak.
D. Karakter ibu idola sekaligus sahabat yang menyenangkan bagi anak
Pola asuh orangtua berperan besar dalam pembentukan karakter dan pola pikir si kecil di kemudian hari nanti. Dalam mengasuh anak, Anda tak hanya bisa jadi pendidik anak tapi juga sahabat yang asyik.
Sejak si kecil lahir, Anda pasti sudah kebanjiran nasehat dan saran menjadi ibu yang handal. Namun, keputusan tetap di tangan Anda dalam menciptakan dan mengembangkan sendiri cara perawatan dan pola asuh yang sesuai dengan kebutuhan dan kepribadian anak Anda.
Setiap ibu memiliki keunikan pola asuh masing-masing terhadap si kecil. Namun, setiap ibu pasti memiliki satu kesamaan, yakni ingin agar si kecil tumbuh dan berkembang dengan sempurna serta mengalami masa kanak-kanak yang bahagia.
"Meski pendekatannya berbeda, tapi tujuan para ibu pada umumnya sama, yakni ingin yang terbaik untuk anaknya," kata Dra.Diennayarti Tjokrosuprihartono, M.Psi, psikolog anak dari Universitas Indonesia.
Secara garis besar, ada beberapa jenis karakter ibu, yakni ibu yang ingin jadi sahabat anak, ibu yang kreatif, ibu yang menjadi idola anak, serta ibu yang jadi pelindung anak.
Ibu sahabat anak memiliki gaya asuh yang santai dan penuh kasih sayang sehingga nantinya si anak akan menjadi pribadi yang bahagia, mandiri dan terbuka.
Sementara itu ibu yang kreatif adalah yang selalu penuh dengan hal baru, hangat, spontan, merupakan teman bermain si kecil. Ibu tipe ini senang membuat suasana yang baru dan spontan sehingga anak tumbuh menjadi anak yang ceria dan senang bereksplorasi.
Karakter ibu lainnya adalah ibu yang menjadi idola anak, yakni ibu yang disiplin dan memiliki cita-cita atau terget tinggi untuk si kecil. "Biasanya ini adalah ibu-ibu yang punya aktifitas di luar rumah atau ibu yang berprestasi sehingga anak kagum," kata Dien.

Sedangkan ibu yang selalu berusaha menghadirkan rasa aman bagi si kecil termasuk dalam karakter ibu pelindung. "Biasanya ibu tipe ini selalu mencari jalan keluar untuk membantu si kecil, bahkan ia selalu mengantisipasi masalah," katanya.
Empat karakter tersebut, menurut Dien, bisa muncul dalam diri setiap ibu. "Semua tipe ini dimiliki para ibu, namun yang muncul adalah lebih dominan yang mana," katanya dalam acara peluncuran komunitas Mama Moo Teman Moo dari Walls Moo di Jakarta beberapa waktu lalu.
Cara pandang, pengetahuan, serta wawasan setiap ibu akan terus berkembang seiring dengan proses belajar menjadi orangtua. "Selalu asah kepekaan dan pilih pendekatan yang pas untuk anak," ujar Dien.
Dengan demikian, kelak Anda akan bisa menghadirkan sisi-sisi terbaik dalam diri untuk memaksimalkan seluruh aspek perkembangkan anak.
Para Ibu seringkali mengalami dilema dalam menghadapi anak-anak mereka. Keinginan ibu untuk dapat memberikan yang terbaik bagi anak, seringkali menempatkan posisi Ibu seperti ”polisi jahat” bagi anak-anak karena larangan-larangannya.
Sebagai contoh, ketika ibu harus memilih jajanan bagi anak. Jajanan yang diharapkan oleh anak adalah jajanan yang tentu mereka sukai, sedangkan pertimbangan ibu jajanan bagi anak adalah jajanan yang memiliki kandungan gizi yang bermanfaat. Jika para ibu mampu mengatasi dilema yang dihadapinya dengan memberikan solusi yang terbaik melalui sarana yang positif dan menyenangkan, tentu hubungan ibu dan anak akan terjalin erat. Terwujud manakala ibu dan anak menjadi sahabat selamanya (Best Friend Forever), dan tidak lagi menjadi dilema bagi ibu maupun paksaan bagi anak.
Saat membesarkan anak-anak disarankan kedua orang tua harus bekerja sama menjadi satu tim yang solid. Terutama dalam menerapkan sejumlah peraturan kepada anak-anaknya. Sehingga baik ayah maupun ibu harus bisa mengetahui perannya masing-masing saat merawat si kecil. "Para orang tua harus bekerja sama menjadi satu tim dan bersikap konsisten dalam menerapkan peraturan-peraturan di rumah," ujar Diennayarti Tjokrosuprihartono, seorang psikolog dari Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia.
Maklum saat menegakkan kedisiplinan kepada buah hati, orang tua kadang suka marah atau frustasi, menghindari masalah, kehabisan akal, sering bersuara keras, cerewet ataupun meremehkan. Padahal, sebenarnya agar si kecil bisa memahami keinginan orang tua tak harus melulu dengan cara kasar."Semua anak pasti akan mencontoh orang dewasa, jadi mereka tak perlu diajarkan memakai suara keras atau teriak", ujarnya. Oleh sebab itu memberikan contoh jauh lebih baik dibanding dengan membentak ataupun cara-cara lain yang memerintah dengan kasar.
Tidak kalah penting adalah mengajarkan kedisiplinan. Cara terbaik mendisiplinkan anak adalah dengan memberikan hukuman atau imbalasan (reward andpunisment). "Jadi cara tepat ajarkan anak disiplin, harus dimulai dengan diberikan contoh positif, konsisten dan komitmen," ujar dia.Ketika anak mendapatkan nilai bagus di sekolahnya, misalnya, berikan perhatian. "Memberi penghargaan untuk anak tak harus selalu diberi hadiah. Yang penting harus bilang jujur tanpa bilang kata-kata negatif. Bisa juga dengan diberi pelukan," ungkap Dini saat ditemui dalam acara konferensi pers "lbuku Sahabatku" besutan sebuah produk es krim, Jakarta beberapa waktu lalu.
Peran Lebih Ibu
Peran seorang ibu begitu penting. Ketika ayah pergi seharian mencari nafkah, tiap harinya ibu bertanggung jawab mengurus rumah tangga juga menjaga anak. Termasuk memberikan pengasuhan. Menurut Dini cara terbaik berhubungan dengan anak-anak adalah menjalin persahabatan.Supaya anak mengerti apa yang disampaikan, terutama bagi para ibu, dapat dihadapi dengan diberikan suatu solusi terbaik. Adapun solusi tersebut, dengan membangun rasa saling menghargai satu sama lain. Sehingga dalam mendampingi masa tumbuh kembang anak, setiap ibu bisa menjadi sahabat bagi si kecilnya.
Bagi anak-anak dan siapa saja di dunia, mempunyai sahabat adalah suatu kondisi yang sangat menyenangkan. Dengan menjalani peran sahabat maka ibu akan menjadi tempat yang nyaman untuk curhat, tempat bertanya yang seru karena bisa dipercaya bahkan dapat maju bersama dan saling menguatkan.Melalui komunikasi dan perilaku yang positif dan menyenangkan, hubungan ibu dan anak akan terjalin lebih harmonis. Apabila hubungan antara ibu dan si kecil telah terjalin erat, maka itu berarti telah terwujud persahabatan selamanya (Best Friend Forever). Banyak kesempatan yang dapat dimanfaatkan agar persahabatan ibu dengan anak semakin harmonis, seperti saat bermain atau sedang makan bersama.
E.Mengakomodir Perbedaan Karakter Anak
Pertanyaan besar bagi kita semua, jika anak-anak memang secara alamiah berbeda satu sama lain, apakah mereka bisa dididik dengan pola yang sama? Ataukah dididik dengan pola yang berbeda yang disesuaikan dengan ciri dan kebutuhan masing-masing anak?

a. Fitrah manusia pada umumnya
Tidak ada sidik jari manusia yang sama. Oleh karena itu, Interpol menggunakan sidik jari sebagai identitas individu. Bayangkan dengan jumlah penduduk dunia yang berjumlah Iebih dari 6 miliar ini, ternyata belum pernah ditemukan sidik jari yang sama di antara mereka. Itulah yang membuktikan bahwa setiap manusia berbeda. Dan, perbedaan itu sesungguhnya adalah hal yang sangat alami. Ya..., masing-masing kita berbeda dengan individu lainnya, tentunya dalam banyak hal. Itulah fitrah manusia, meskipun satu bapak dan satu ibu, kita secara pribadi berbeda dengan saudara-saudara kandung lainnya, bahkan yang terlahir kembar sekalipun. Dan, itu juga berlaku untuk setiap anak-anak yang kita cintai.

Jadi, sebenarnya tidak bijaksana jika orangtua membanding-bandingkan perilaku anak yang satu dengan anak lainnya karena peruntukan mereka kelak berbeda. Anak yang penurut mungkin kelak akan menjadi pegawai. Sementara, anak yang sulit diatur mungkin kelak akan menjadi pemimpin perusahaan. Perhatikan saja, hampir 90% pemimpin yang sukses di perusahaan-perusahaan besar adalah orang-orang yang berwatak keras kepala, sebaliknya sekitar 90% stafnya adalah pelaksana-pelaksana yang patuh menuruti perintah atasannya.


b. Keinginan kita melalui anak vs keinginan Tuhan melalui anak kita

Fenomena sebagian besar orangtua dalam mendidik anak adalah berusaha untuk menjadikan anak sebagai objek dari keinginan orangtuanya. Bahkan tak jarang orangtua yang merasa cita-citanya dulu tidak tercapai, lalu dipaksakan cita-cita itu melalui anaknya.

Sebenarnya boleh-boleh saja apabila memang si anak juga memiliki cita-cita atau keinginan yang sama dengan orangtuanya. Namun jika tidak, sesungguhnya orangtua tidak berhak memaksakannya.

Perbedaan besar yang terjadi antara sistem pendidikan zaman dulu dan sekarang terletak pada aspek pencapaian. Pada zaman dahulu, orangtua dan guru mendidik anak-anak agar memenuhi keinginan mereka. Sementara, pada zaman modern seperti sekarang ini, mendidik merupakan suatu upaya untuk membimbing anak menemukan keinginan Tuhan dalam dirinya.

Cukup sudah... Jangan kita ulangi lagi kesalahan yang sama pada anak kita. Anak-anak terlahir karena keinginan dari Tuhan. Jadi, mari kita berusaha menggali apa keinginan Tuhan melalui anak-anak kita. Salahkah mereka jika berbeda dengan kita? Tentu saja tidak. Perbedaan ini adalah keniscayaan yang menghasilkan harmoni hidup sehingga saling melengkapi satu sama lain.

BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan
Dalam pembuatan makalah Membangun Karakter Anak dengan Islam di harapkan para pendidik dapat membangun karakter anak dengan kasih sayang tanpa ada kekerasan, dan diharapkan sesuai dengan pengajaran agama Islam.

B.Saran
Diharapkan agar pendidik bisa lebih mengenal karakter anak didiknya masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar anda sangat membantu saya untuk lebih maju.